Sexual
Abuse Terhadap Anak yang Berusia di Bawah
17 Tahun
Latar Belakang
Kejahatan seksual, atau yang lebih sering
disebut dengan sexual abuse kini
semakin banyak terjadi, terutama pada anak yang berusia di bawah 17 tahun. Hal
ini dapat terjadi dikarenakan kurangnya pengawasan orangtua terhadap anaknya
dan juga kurangnya pendidikan orang-orang sekarang mengenai seks. Keadaan ini
sangat memprihatinkan, atas dasar inilah penulis ingin membahas mengenai “Sexual Abuse Terhadap Anak yang
Berusia di Bawah 17 Tahun.”
Pengertian Sex dan Sexual Abuse
Menurut Oxford
(2009) pengertian dari sex adalah “Short for sexual intercourse or any of the
activities distinctively associated with it” (p. 692). Sementara itu, untuk pengertian sexual abuse adalah “Using
someone else’s body for sexual pleasure without his or her consent, and this is
a crime” (Frolic & Broyles, 2012, p. 6).
Klasifikasi Sexual Abuse
Menurut Resna
dan Darmawan (dikutip dalam Huraerah, 2007) bahwa tindakan sexual abuse dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu perkosaan, incest, dan eksploitasi.
Perkosaan. Perkosaan
ini biasanya dilakukan oleh pria. Perkosaan sering dilakukan oleh pelaku dengan
lebih dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Anak yang
diperkosa harus secepatnya diperiksa supaya bukti fisik masih dapat dilihat.
Anak yang mengalami kasus pemerkosaan dengan kekerasan akan mendapatkan risiko
yang sangat besar, karena akan menyebabkan emosinya menjadi tidak stabil.
Incest. Incest adalah aktivitas seksual antar individu yang mempunyai
hubungan dekat yang dimana menurut hukum perkawinan mereka dilarang. Incest juga biasanya terjadi dalam kurun
waktu yang lama.
Eksploitasi. Eksploitasi
seksual meliputi prostitusi dan pornografi. Hal ini dapat terjadi dalam
keluarga, ibu, ayah, dan anak-anak bisa saja ikut terlibat. Dalam keadaan
seperti ini anak-anak haruslah segera dipindahkan dari situasi rumah, sebelum
mereka yang dijadikan korban. Eksploitasi anak-anak membutuhkan banyak
penanganan secara psikiatri.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Tindakan Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur
Faktor utama
penyebab kekerasan seksual adalah lingkungan yang rusak, dimana terdapat berbagai
percampuran yang menimbulkan penyimpangan dalam kehidupan seorang anak. Faktor lainnya adalah pendidikan seks yang keliru.
Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan orangtua akan pendidikan seks yang
berimplikasi pada kepribadian anak. Rangsangan seksual dalam keluarga juga
dapat menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual. Hal ini dapat terjadi ketika
orangtua secara tidak sengaja menghadirkan rangsangan yang merusak pandangan
anak terhadap perilaku seksual (Madani, 2003).
Dampak Bagi Anak yang Mengalami Sexual Abuse
Cheung (2012, p. 268) mengatakan bahwa:
Professionals
who are involved in child sexual abuse cases often experience stress because it
is hard to talk about sexuality with a child who has been abused. When this
stress gets out of hand, it is often referred to as secondary trauma or
vicarious trauma. Secondary trauma can occur when professionals hear about a
client’s traumatic experience, either directly from a client or from secondary
sources, but they cannot immediately find solutions to help the client overcome
difficulties. Secondary trauma can generate feelings of helplessness and
despair as a result of the professional’s perceived inability to make positive
and helpful change for the client who has been affected by a traumatic
experience.
Menurut
Huraerah (2007) Sexual abuse pada
anak berdampak pada perilaku, kognisi, sosial-emosional, dan fisik. Dampak pada
perilaku anak yang terlihat adalah: (a) perubahan perilaku secara mendadak,
dari bahagia ke depresi, atau bersahabat ke isolasi; (b) perilaku ekstrim,
secara komparatif lebih agresif dari perilaku sebelumnya; (c) gangguan tidur,
mengalami mimpi buruk dan takut pergi ke tempat tidur; (d) perilaku regresif;
kembali pada perilaku awal perkembangan anak seperti mengompol; (e) perilaku
anti sosial, melakukan tindakan merusak; (f) perilaku menghindar, takut atau
menghindari orang tertentu; (g) perilaku seksual yang tidak pantas, masturbasi
berlebihan dan berpikiran porno; (h) penyalahgunaan NAPZA, mengonsumsi alkohol
atau obat terlarang; dan (i) bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri
(self abuse).
Dampak pada kognisi yaitu: (a) tidak dapat
berkonsentrasi, sering melamun dan menghayal; (b) minat sekolah memudar,
menurunnya perhatian terhadap tugas-tugas sekolah; dan (c) reaksi berlebihan, khususnya
terhadap gerakan tiba-tiba dari orang lain.
Dampak pada sosial-emosional yaitu: (a)
rendahnya kepercayaan diri, perasaan tidak berharga; (b) menarik diri,
mengisolasi diri dari teman; (c) depresi tanpa penyebab jelas, pikirannya
seakan ingin bunuh diri; (d) ketakutan berlebihan, hilangnya kepercayaan diri;
dan (e) keterbatasan perasaan, tidak riang lagi seperti sebelumnya.
Dampak fisik pada anak yang terlihat
yaitu: (a) perasaan sakit pada tubuh, sering mengeluh kesakitan pada beberapa
bagian tubuh; (b) luka pada alat kelamin, alat kelamin mengalami pendarahan,
lecet, nyeri, dan gatal-gatal, dan (c)
hamil.
Simpulan
Sexual abuse
banyak terjadi padi anak yang berusia di bawah 17 tahun. Sexual abuse merupakan suatu kejahatan yang dilakukan dengan unsur
seksual. Bentuk-bentuknya seperti perkosaan, incest, dan eksploitasi. Sexual
abuse dapat berdampak buruk di segi perilaku, kognisi, sosial-emosional,
dan fisik pada anak.
Saran
Sexual abuse yang sedang banyak terjadi
ini haruslah diwaspadai. Penulis menyarankan agar orangtua lebih sering
mengawasi segala gerak gerik anaknya. Orangtua juga dianjurkan agar selalu
mengantarkan anaknya jika pergi ke tempat lain, karena berbahaya jika anak
dipercayakan kepada orang lain. Hal ini disarankan untuk mencegah terjadinya
kejahatan seksual terhadap anak dan juga anggota keluarga lainnya.
Daftar Pustaka
Cheung, M. (2012). Child sexual abuse: Best practices for
interviewing and treatment. Chicago, Il: Lyceum Books.
Colman, A. M. (2009). Oxford
dictionary of english (3rd ed.). Oxford, NY: Oxford Univeesity Press.
Floric, M., & Broyles, M. (2012). Sexual abuse. New
York, NY: The Rosen Publishing Groups.
Huraerah, A, (2007). Chilld abuse: Kekerasan terhadap anak
(edisi revisi). Bandung: Nuansa.
Madani, Y. (2003). Pendidikan seks untuk anak islam.
Jakarta; Pustaka Zahra.