Translate

Selasa, 11 November 2014

Tugas Akhir_Salvian_705140004


Sexual Abuse Terhadap Anak yang Berusia di Bawah 17 Tahun

Latar Belakang
    Kejahatan seksual, atau yang lebih sering disebut dengan sexual abuse kini semakin banyak terjadi, terutama pada anak yang berusia di bawah 17 tahun. Hal ini dapat terjadi dikarenakan kurangnya pengawasan orangtua terhadap anaknya dan juga kurangnya pendidikan orang-orang sekarang mengenai seks. Keadaan ini sangat memprihatinkan, atas dasar inilah penulis ingin membahas mengenai “Sexual Abuse Terhadap Anak yang Berusia  di Bawah 17 Tahun.”

Pengertian Sex dan Sexual Abuse
     Menurut Oxford (2009) pengertian dari sex adalah “Short for sexual intercourse or any of the activities distinctively associated with it” (p. 692). Sementara itu, untuk pengertian sexual abuse adalah “Using someone else’s body for sexual pleasure without his or her consent, and this is a crime” (Frolic & Broyles, 2012, p. 6).

Klasifikasi Sexual Abuse
     Menurut Resna dan Darmawan (dikutip dalam Huraerah, 2007) bahwa tindakan sexual abuse dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu perkosaan, incest, dan eksploitasi.
     Perkosaan. Perkosaan ini biasanya dilakukan oleh pria. Perkosaan sering dilakukan oleh pelaku dengan lebih dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Anak yang diperkosa harus secepatnya diperiksa supaya bukti fisik masih dapat dilihat. Anak yang mengalami kasus pemerkosaan dengan kekerasan akan mendapatkan risiko yang sangat besar, karena akan menyebabkan emosinya menjadi tidak stabil.
     Incest.  Incest adalah aktivitas seksual antar individu yang mempunyai hubungan dekat yang dimana menurut hukum perkawinan mereka dilarang. Incest juga biasanya terjadi dalam kurun waktu yang lama.
     Eksploitasi. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi. Hal ini dapat terjadi dalam keluarga, ibu, ayah, dan anak-anak bisa saja ikut terlibat. Dalam keadaan seperti ini anak-anak haruslah segera dipindahkan dari situasi rumah, sebelum mereka yang dijadikan korban. Eksploitasi anak-anak membutuhkan banyak penanganan secara psikiatri.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur
     Faktor utama penyebab kekerasan seksual adalah lingkungan yang rusak, dimana terdapat berbagai percampuran yang menimbulkan penyimpangan dalam kehidupan seorang anak. Faktor lainnya adalah pendidikan seks yang keliru. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan orangtua akan pendidikan seks yang berimplikasi pada kepribadian anak. Rangsangan seksual dalam keluarga juga dapat menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual. Hal ini dapat terjadi ketika orangtua secara tidak sengaja menghadirkan rangsangan yang merusak pandangan anak terhadap perilaku seksual (Madani, 2003).

Dampak Bagi Anak yang Mengalami Sexual Abuse
     Cheung (2012, p. 268) mengatakan bahwa:
     Professionals who are involved in child sexual abuse cases often experience stress because it is hard to talk about sexuality with a child who has been abused. When this stress gets out of hand, it is often referred to as secondary trauma or vicarious trauma. Secondary trauma can occur when professionals hear about a client’s traumatic experience, either directly from a client or from secondary sources, but they cannot immediately find solutions to help the client overcome difficulties. Secondary trauma can generate feelings of helplessness and despair as a result of the professional’s perceived inability to make positive and helpful change for the client who has been affected by a traumatic experience.
     Menurut Huraerah (2007) Sexual abuse pada anak berdampak pada perilaku, kognisi, sosial-emosional, dan fisik. Dampak pada perilaku anak yang terlihat adalah: (a) perubahan perilaku secara mendadak, dari bahagia ke depresi, atau bersahabat ke isolasi; (b) perilaku ekstrim, secara komparatif lebih agresif dari perilaku sebelumnya; (c) gangguan tidur, mengalami mimpi buruk dan takut pergi ke tempat tidur; (d) perilaku regresif; kembali pada perilaku awal perkembangan anak seperti mengompol; (e) perilaku anti sosial, melakukan tindakan merusak; (f) perilaku menghindar, takut atau menghindari orang tertentu; (g) perilaku seksual yang tidak pantas, masturbasi berlebihan dan berpikiran porno; (h) penyalahgunaan NAPZA, mengonsumsi alkohol atau obat terlarang; dan (i) bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri (self abuse).
     Dampak pada kognisi yaitu: (a) tidak dapat berkonsentrasi, sering melamun dan menghayal; (b) minat sekolah memudar, menurunnya perhatian terhadap tugas-tugas sekolah; dan (c) reaksi berlebihan, khususnya terhadap gerakan tiba-tiba dari orang lain.
     Dampak pada sosial-emosional yaitu: (a) rendahnya kepercayaan diri, perasaan tidak berharga; (b) menarik diri, mengisolasi diri dari teman; (c) depresi tanpa penyebab jelas, pikirannya seakan ingin bunuh diri; (d) ketakutan berlebihan, hilangnya kepercayaan diri; dan (e) keterbatasan perasaan, tidak riang lagi seperti sebelumnya.
     Dampak fisik pada anak yang terlihat yaitu: (a) perasaan sakit pada tubuh, sering mengeluh kesakitan pada beberapa bagian tubuh; (b) luka pada alat kelamin, alat kelamin mengalami pendarahan, lecet,  nyeri, dan gatal-gatal, dan (c) hamil.

Simpulan
     Sexual abuse banyak terjadi padi anak yang berusia di bawah 17 tahun. Sexual abuse merupakan suatu kejahatan yang dilakukan dengan unsur seksual. Bentuk-bentuknya seperti perkosaan, incest, dan eksploitasi. Sexual abuse dapat berdampak buruk di segi perilaku, kognisi, sosial-emosional, dan fisik pada anak.



Saran
       Sexual abuse yang sedang banyak terjadi ini haruslah diwaspadai. Penulis menyarankan agar orangtua lebih sering mengawasi segala gerak gerik anaknya. Orangtua juga dianjurkan agar selalu mengantarkan anaknya jika pergi ke tempat lain, karena berbahaya jika anak dipercayakan kepada orang lain. Hal ini disarankan untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual terhadap anak dan juga anggota keluarga lainnya.  




















Daftar Pustaka
Cheung, M. (2012). Child sexual abuse: Best practices for interviewing and treatment. Chicago, Il: Lyceum Books.
Colman, A. M. (2009). Oxford dictionary of english (3rd ed.). Oxford, NY: Oxford Univeesity Press.
Floric, M., & Broyles, M. (2012). Sexual abuse. New York, NY: The Rosen Publishing Groups.
Huraerah, A, (2007). Chilld abuse: Kekerasan terhadap anak (edisi revisi). Bandung: Nuansa.
Madani, Y. (2003). Pendidikan seks untuk anak islam. Jakarta; Pustaka Zahra.

Rabu, 05 November 2014

KBK Penulisan Karya Tulis Ilmiah


Latihan 17
Salvian 705140004

Gambaran Stres pada Siswa Sekolah

Pengertian Stres
     Stres diartikan sebagai gangguan atau kekacauan mental dan emosional yg disebabkan oleh faktor luar; ketegangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI], 2014). Dalam ilmu psikologi, “Stres diartikan sebagai respon individu terhadap tekanan, keadaan dan peristiwa yang mengancam dan menguras kemampuan mereka untuk beradaptasi” (Santrock, 2002, h. 604).

Stres pada Siswa Sekolah. Siswa sekolah sangat sering mengalami stres karena berbagai tuntutan yang diberikan dari pihak sekolah. Sehingga tidak jarang siswa yang stres mengalami ketegangan fisik, psikologis, dan perubahan tingkah laku, serta mempengaruhi prestasi belajar. Kebanyakan siswa mengalami stres karena tuntutan tugas, ujian, tuntutan peran di sekolah dan tuntutan dari guru mereka (Osnela, 2014).

Faktor Penyebab Stres pada Siswa Sekolah
     Faktor kepribadian. Kepribadian seseorang dapat membantu dalam mengatasi stres. Terdapat 3 aspek kepribadian yang berkaitan dengan stres (Santrock, 2002).
     Pola perilaku tipe A/tipe B. Tipe A adalah karakter siswa yang bersikap berlebihan, sulit diatur, tidak sabaran, dan tidak bersahabat. Sementara itu tipe B adalah karakter siswa yang baik, pada umumnya santai, dan fleksibel. Dapat dilihat bahwa pola perilaku tipe A akan lebih mudah mengalami stres, dan menurut penelitian Rosenman dan Friedman, stres berlebihan juga dapat menyebabkan resiko serangan jantung. Untuk pola perilaku tipe B, diyakini jarang mengalami stres dan hidupnya akan lebih bahagia (Friedman & Rosenman dalam Santrock, 2002).
     Ketabahan. Ketabahan adalah gaya kepribadian yang ditandai oleh komitmen dan kontrol diri, serta anggapan atas berbagai masalah adalah tantangan. Sikap tabah akan mengurangi tingkat stres siswa sekolah (Santrock, 2002).
     Pengendalian Diri. Merupakan gaya atau cara siswa untuk mengontrol dirinya agar terhindar dari stress (Taylor, Thompson, & Wallston dalam Santrock, 2002).
     Faktor lingkungan. Banyak fenomena yang sering terjadi disekitar sekolah yang dapat memunculkan rasa frustasi dan ketidak bahagiaan yang dapat menimbulkan stres pada siswa (Santrock, 2002).
     Peristiwa hidup dan kesibukan sehari-hari. Banyak hal-hal tak terduga yang terjadi pada hidup manusia, seperti dipecat, kecelakaan, orang meninggal, dan masih banyak lagi. Siswa sekolah juga pasti sering mengalami hal-hal yang tidak terduga tersebut, seperti lupa membawa PR, mendapatkan nilai jelek, diputusin pacar, dan lainnya. Kesibukan sehari-hari siswa sekolah pun bisa menjadi pemicu stres, karena munculnya rasa jenuh, capek, dan bosan. Namun peristiwa hidup yang tak teduga akan menjadi pemicu stres yang lebih besar (Crowther et al. Dalam Santrock, 2002).
     Faktor sosial dan budaya. Faktor ini turut menentukan sikap siswa terhadap stres yang dialami dan bagaimana cara mengatasinya (Kawachi & Kennedy dala Santrock, 2002).
     Stres Kulturatif. Stres ini menggambarkan sikap stres yang dialami siswa karena menemui budaya yang berbeda. Seperti siswa yang pindah sekolah, pada awalnya akan mengalami stres karena belum beradaptasi (Hovey, Uppaluri, Schumm, & Lauderdale dalam Santrock, 2002).
     Kemiskinan. Faktor ini dapat menyebabkan stres juga, karena kemiskinan menyebabkan siswa terhambat dalam memperoleh pendidikan. Di sisi lain juga biasanya orang yang miskin lebih sering mengalami tindakan kriminal, baik sebagai korban maupun pelaku (Brown, Bhrolchain, & Harris dalam Santrock, 2002).

Dampak Stres pada Siswa Sekolah.
Ahmadi dan Umar (2009, h. 68) mengatakan bahwa:
     Stres mempunyai ciri negatif, cotohnya saja orang yang stres akan bersikap murung, muram, susah, melihat dunia luar dengan negatif. Stres atau yang sering kali disebut depresi biasanya bersumber pada perasaan takut dan putus asa. Sehingga besar kemungkinan terjadinya peristiwa bunuh diri.

Cara Mengatasi Stres. Menurut Santock (2002, h. 631-639), ada beberapa cara dalam menghadapi stres, yaitu dengan cara berolahraga secara teratur, mengkonsumsi makanan-makanan yang sehat, tidak merokok, dan membuat keputusan suara seksual.
    



Daftar Pustaka

Ahmadi, A. & Umar, M. (2009). Psikologi umum (Edisi Revisi). Surabaya: PT Bina Ilmu.
Departemen Pendidikan Nasional. 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka
Osnela, F. (2014, 27 September). Problem Remaja di Sekolah. Diunduh dari http://flachaniago.blogspot.com/2013/12/problem-remaja-di-sekolah_6569.html.
Santrock, J. W. (2002). Psychology (7th ed.).United State: McGraw Hill.